DALAM praktik dunia usaha sangat lazim terjadi bahwa
pihak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan barang atau
penyerahan jasa harus menyetor Pajak Keluaran (PPN) atas setiap Faktur
Pajak yang diterbitkannya ke Kas Negara meskipun belum menerima
pembayaran dari pihak pembeli barang atau penerima jasa.
Idealnya
pihak penjual menerima pembayaran termasuk PPN terlebih dahulu dari
pihak pembeli lalu kemudian menyetorkan PPN yang dipungut ke Kas Negara
dalam batas waktu yang ditetapkan oleh ketentuan perpajakan yang
berlaku. Dalam hal ini pihak PKP penjual atau pemberi jasa tidak perlu
melakukan penalangan terlebih dahulu atas pembayaran PPN dengan
menggunakan dananya sendiri.
Selain pada umumnya disebabkan oleh
keterlambatan pembayaran tagihan oleh pihak pembeli, penalangan PPN juga
berkaitan erat dengan saat pembuatan Faktur Pajak, karena hal ini akan
menentukan kapan Faktur Pajak tersebut harus dilaporkan pada SPT Masa
PPN.
Saat Pembuatan Faktur Pajak Pada Usaha Jasa Konstruksi
Berdasarkan
pasal 13 ayat (1a) & (2a) Undang-undang nomor 42 Tahun 2009 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dan pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata
Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian Faktur Pajak
serta pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-13/PJ./2010 tentang Bentuk, Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran,
Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak
Standar sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-65/PJ./2010, diatur
bahwa Faktur Pajak harus dibuat:
a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.
saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara
Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
e. paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam pembuatan Faktur Pajak Gabungan.
Meskipun
ketentuan perpajakan memberikan kelonggaran batas waktu dalam pembuatan
Faktur Pajak pada usaha jasa konstruksi yakni pada saat penerimaan
pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, dalam
kenyataannya tidak dapat dihindari bahwa pihak kontraktor harus membuat
Faktur Pajak lebih awal.
Hal ini disebabkan karena pihak pemberi
kerja umumnya mensyaratkan bahwa proses pembayaran tagihan hanya
dilakukan apabila dokumen tagihan (invoice) diterima lengkap. Pengertian lengkap dalam hal ini adalah bahwa Faktur Komersial (commercial invoice) beserta dokumen pendukung lainnya seperti Berita Acara Kemajuan Pekerjaan (approved progress report) dan lain-lain termasuk Faktur Pajak (tax invoice) harus disampaikan sekaligus atau bersamaan.
Penerbitan
Faktur Pajak lebih awal akan berakibat harus dilaporkannya Faktur Pajak
tersebut dalam SPT Masa bulan penerbitannya dan dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan untuk masa tersebut, maka pihak
penjual harus menyetorkan selisihnya ke Kas Negara selambat-lambatnya
pada akhir bulan berikutnya. Dalam hal pembayaran dari pembeli diterima
setelah tanggal akhir bulan berikutnya, maka pihak PKP Penjual dalam hal
ini harus melakukan penalangan terlebih dahulu atau pre-financing atas
PPN. Hal ini akan menyebabkan terkurasnya dana (cash flow) dan tentu saja akan dirugikan dari sisi time value of money.
Tips menghindari penalangan PPN dalam usaha jasa konstruksiSebagaimana
dikemukakan di atas bahwa dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
(lazimnya dalam usaha jasa konstruksi), Faktur Pajak harus dibuat pada
saat penerimaan pembayaran termin. Berikut ini dikemukakan tips untuk
menghindari penalangan PPN dalam usaha jasa konstruksi, antara lain:
1. Dalam klausul terms of payment pada
kontrak pekerjaan konstruksi sebaiknya dicantumkan secara jelas bahwa
untuk proses pembayaran atas kemajuan pekerjaan (termin) sesuai dengan
jangka waktu yang ditetapkan, misalnya 30 (tiga puluh) hari setelah
invoice diterima dengan benar dan lengkap, kontraktor tidak diwajibkan
melampirkan Faktur Pajak sebagai syarat dokumen penagihan lengkap,
melainkan Faktur Pajak akan diterbitkan pada saat atau setelah menerima
pembayaran.
Dengan demikian, hitungan hari (argo) pembayaran akan mulai berlaku pada saat kontraktor menyampaikan hanya invoice komersial, kuitansi, dan Berita Acara Kemajuan Fisik Pekerjaan yang telah ditandatangani oleh pihak pemberi kerja (project owner) tanpa
Faktur Pajak. Dengan mencantumkannya secara tegas dalam kontrak, maka
pihak pemberi kerja tidak punya alasan lagi untuk tidak memproses
pembayaran hanya karena pihak kontraktor tidak melampirkan Faktur Pajak
pada saat mengajukan tagihan pada setiap termin.
Untuk
kepentingan administrasi pihak pemberi kerja, bisa saja dibuatkan Faktur
Pajak Sementara (pro-forma) tanpa nomor seri yang dapat disampaikan
pada saat mengajukan tagihan dan akan diganti dengan Faktur Pajak asli
pada saat menerima pembayaran. Dengan melakukan cara demikian, maka
penalangan PPN dapat dihindari karena Faktur Pajak akan selalu dibuat
oleh pihak kontraktor pada saat menerima pembayaran dan akan
disetor/dilaporkan pada bulan berikutnya. Cara ini tidak melanggar
ketentuan perpajakan karena Faktur Pajak dapat dibuat pada saat
penerimaan pembayaran termin.
2. Dalam hal tidak mungkin
dicapai kesepakatan untuk tidak memasukkan klausul Faktur Pajak sebagai
syarat dokumen lengkap dalam kontrak pekerjaan, maka sebaiknya
diupayakan agar pengajuan tagihan termin dapat dilakukan paling lambat
setiap akhir bulan dan dengan jangka waktu pembayaran maksimum 30 (tiga
puluh ) hari. Dalam hal ini Berita Acara Kemajuan Pekerjaan juga sudah
harus dibuat dan ditandatangani oleh pihak pemberi kerja sebelum
tanggal tersebut.
Cara ini juga dapat menghindari penalangan PPN
karena meskipun Faktur Pajak dibuat pada saat pengajuan tagihan,
misalnya tanggal 28 Februari 2012, pihak kontraktor diharapkan telah
menerima pembayaran termasuk PPN paling lambat pada 30 hari kemudian
sesuai kesepakatan dalam kontrak yaitu tanggal 28 Maret 2012, sehingga
dapat menggunakan penerimaan tagihan tersebut untuk menyetor PPN ke Kas
Negara pada tanggal 31 Maret 2012, tentu saja setelah memperhitungkan
dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran pada
masa itu.
Untuk manjaga ketaatan pemberi kerja dalam melakukan
pembayaran tagihan, perlu diatur juga dalam kontrak mengenai pengenaan
denda sejumlah persentase tertentu atas keterlambatan pembayaran
tagihan. Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa dalam hal pekerjaan jasa
konstruksi telah dinyatakan selesai dan telah diserahterimakan kepada
pihak pemberi kerja, maka PPN terhutang pada saat serah terima pekerjaan
meskipun pembayaran atas sisa tagihan belum diterima oleh pihak
kontraktor.
Dalam hal ini maka Faktur Pajak harus dibuat pada
saat terjadinya serah terima, kecuali pembayaran terjadi sebelum tanggal
serah terima di mana Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat
pada saat penerimaan pembayaran.
Kesimpulan
Dengan
memanfaatkan ketentuan perpajakan yang berlaku menyangkut saat
pembuatan Faktur Pajak untuk usaha jasa konstruksi yaitu pada saat
pembayaran termin dan pada saat serah terima dalam hal pekerjaan telah
selesai serta menuangkannya dalam kontrak jasa konstruksi pada klausul
penagihan dan pembayaran, maka penalangan (pre-financing) pembayaran PPN yang menguras cash-flow oleh pengusaha jasa konstruksi dapat dihindari.