Rabu, 12 Februari 2014

Tips Menghindari Penalangan PPN dalam Usaha Jasa Konstruksi

DALAM praktik dunia usaha sangat lazim terjadi bahwa pihak Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan barang atau penyerahan jasa harus menyetor Pajak Keluaran (PPN) atas setiap Faktur Pajak yang diterbitkannya ke Kas Negara meskipun belum menerima pembayaran dari pihak pembeli barang atau penerima jasa.

Idealnya pihak penjual menerima pembayaran termasuk PPN terlebih dahulu dari pihak pembeli lalu kemudian menyetorkan PPN yang dipungut ke Kas Negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini pihak PKP penjual atau pemberi jasa tidak perlu melakukan penalangan terlebih dahulu atas pembayaran PPN dengan menggunakan dananya sendiri.

Selain pada umumnya disebabkan oleh keterlambatan pembayaran tagihan oleh pihak pembeli, penalangan PPN juga berkaitan erat dengan saat pembuatan Faktur Pajak, karena hal ini akan menentukan kapan Faktur Pajak tersebut harus dilaporkan pada SPT Masa PPN.

Saat Pembuatan Faktur Pajak Pada Usaha Jasa Konstruksi
Berdasarkan pasal 13 ayat (1a) & (2a) Undang-undang nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dan pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian Faktur Pajak serta pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010 tentang Bentuk, Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-65/PJ./2010, diatur bahwa Faktur Pajak harus dibuat:

a.    saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b.    saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
c.    saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
d.    saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
e.    paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam pembuatan Faktur Pajak Gabungan.

Meskipun ketentuan perpajakan memberikan kelonggaran batas waktu dalam pembuatan Faktur Pajak pada usaha jasa konstruksi yakni pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, dalam kenyataannya tidak dapat dihindari bahwa pihak kontraktor harus membuat Faktur Pajak lebih awal.

Hal ini disebabkan karena  pihak pemberi kerja umumnya mensyaratkan bahwa proses pembayaran tagihan hanya dilakukan apabila dokumen tagihan (invoice) diterima lengkap. Pengertian lengkap dalam hal ini adalah bahwa  Faktur Komersial (commercial invoice) beserta dokumen pendukung lainnya seperti Berita Acara Kemajuan Pekerjaan (approved progress report) dan lain-lain termasuk Faktur Pajak (tax invoice) harus disampaikan  sekaligus atau bersamaan.

Penerbitan Faktur Pajak lebih awal akan berakibat harus dilaporkannya Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa bulan penerbitannya dan dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan untuk masa tersebut, maka pihak penjual harus menyetorkan selisihnya ke Kas Negara selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya. Dalam hal pembayaran dari pembeli diterima setelah tanggal akhir bulan berikutnya, maka pihak PKP Penjual dalam hal ini harus melakukan penalangan terlebih dahulu atau pre-financing atas PPN. Hal ini akan menyebabkan terkurasnya dana (cash flow) dan tentu saja akan dirugikan dari sisi time value of money.

Tips menghindari  penalangan PPN dalam usaha jasa konstruksiSebagaimana dikemukakan di atas bahwa dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan (lazimnya dalam usaha jasa konstruksi), Faktur Pajak harus dibuat pada saat penerimaan pembayaran termin. Berikut ini dikemukakan tips untuk menghindari penalangan PPN dalam usaha jasa konstruksi, antara lain:

1.    Dalam klausul terms of payment pada kontrak pekerjaan konstruksi sebaiknya dicantumkan secara jelas bahwa untuk proses pembayaran atas kemajuan pekerjaan (termin) sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, misalnya 30 (tiga puluh) hari setelah invoice diterima dengan benar dan lengkap, kontraktor tidak diwajibkan melampirkan Faktur Pajak sebagai syarat dokumen penagihan lengkap, melainkan Faktur Pajak akan diterbitkan pada saat atau setelah menerima pembayaran.

Dengan demikian, hitungan hari (argo) pembayaran akan mulai berlaku pada saat kontraktor menyampaikan hanya invoice komersial, kuitansi, dan Berita Acara Kemajuan Fisik Pekerjaan yang telah ditandatangani oleh pihak pemberi kerja (project owner) tanpa Faktur Pajak. Dengan mencantumkannya secara tegas dalam kontrak, maka pihak pemberi kerja tidak punya alasan lagi untuk tidak memproses pembayaran hanya karena pihak kontraktor tidak melampirkan Faktur Pajak pada saat mengajukan tagihan pada setiap termin.

Untuk kepentingan administrasi pihak pemberi kerja, bisa saja dibuatkan Faktur Pajak Sementara (pro-forma) tanpa nomor seri yang dapat disampaikan pada saat mengajukan tagihan dan akan diganti dengan Faktur Pajak asli pada saat menerima pembayaran. Dengan melakukan cara demikian, maka penalangan PPN dapat dihindari karena Faktur Pajak akan selalu dibuat oleh pihak kontraktor pada saat menerima pembayaran dan akan disetor/dilaporkan pada bulan berikutnya. Cara ini tidak melanggar ketentuan perpajakan karena Faktur Pajak dapat dibuat  pada saat penerimaan pembayaran termin.

2.    Dalam hal tidak mungkin dicapai kesepakatan untuk tidak memasukkan klausul Faktur Pajak sebagai syarat dokumen lengkap dalam kontrak pekerjaan, maka sebaiknya diupayakan agar pengajuan tagihan termin dapat dilakukan paling lambat setiap akhir bulan dan dengan jangka waktu pembayaran maksimum 30 (tiga puluh ) hari. Dalam hal ini Berita Acara Kemajuan Pekerjaan juga sudah harus dibuat  dan ditandatangani oleh pihak pemberi kerja sebelum tanggal tersebut.

Cara ini juga dapat menghindari penalangan PPN karena meskipun Faktur Pajak  dibuat pada saat pengajuan tagihan, misalnya tanggal 28 Februari 2012, pihak kontraktor diharapkan telah menerima pembayaran termasuk PPN paling lambat pada 30 hari kemudian sesuai kesepakatan dalam kontrak yaitu tanggal 28 Maret 2012, sehingga dapat menggunakan penerimaan tagihan tersebut untuk menyetor PPN ke Kas Negara pada tanggal 31 Maret 2012, tentu saja setelah memperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran pada masa itu.

Untuk manjaga ketaatan pemberi kerja dalam melakukan pembayaran tagihan, perlu diatur juga dalam kontrak mengenai pengenaan denda sejumlah persentase tertentu atas keterlambatan pembayaran tagihan. Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa dalam hal pekerjaan jasa konstruksi telah dinyatakan selesai  dan telah diserahterimakan kepada pihak pemberi kerja, maka PPN terhutang pada saat serah terima pekerjaan meskipun pembayaran atas sisa tagihan belum diterima oleh pihak kontraktor.

Dalam hal ini maka Faktur Pajak harus dibuat  pada saat terjadinya serah terima, kecuali pembayaran terjadi sebelum tanggal serah terima di mana Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran.

Kesimpulan
Dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang berlaku menyangkut saat pembuatan Faktur Pajak untuk usaha jasa konstruksi yaitu pada saat pembayaran termin dan pada saat serah terima dalam hal pekerjaan telah selesai serta menuangkannya dalam kontrak jasa konstruksi pada klausul penagihan dan pembayaran, maka penalangan (pre-financing) pembayaran PPN yang menguras cash-flow oleh pengusaha jasa konstruksi dapat dihindari.